Skip to main content

Sengketa BFI Finance 2003-2019: vs PT Aryaputra Teguharta (APT) dan PT Ongko Multicorpora (OM)

Halo semuanya, jumpa lagi dengan saya Ratih, di Mommy Belluga Investing.

Di posting sebelumnya, saya sempat membahas tentang BFIN sebagai bagian dari seri saham yang bisa di beli dengan modal Rp 100 ribuan. Ini link-nya.

Disana saya menyebutkan bahwa  BFIN sempat mengalami kerugian di tahun 2019, sebagai akibat penyelesaian masalah hukum dengan beberapa mantan pemegang saham. Di posting tersebut saya berjanji akan membahas, apa masalah hukum panjang yang di hadapi BFIN, dan akhirnya terselesaikan di akhir 2019 kemaren. 

Di posting kali ini saya mencoba memenuhi janji saya itu. Semoga, penjelasan saya disini cukup akurat, sederhana dan dapat dimengerti.

Subscribe ke channel Telegram saya untuk info blog dan video ter-up to date: https://t.me/MommyBellugaInvesting  

Versi video dari blog ini bisa diakses di YouTube melalui link ini: https://youtu.be/vkUl3EqxJYw



EPS BFIN 2019-2020
Ok, sebelum saya masuk ke masalah hukumnya, saya ingin menampilkan kembali bagaimana kinerja dari BFIN selama 7 kuartal terakhir. 

Dari grafik di atas, laba per saham atau EPS dari BFIN melampaui minus Rp 20 per saham, atau merugi Rp 20 per saham, di quartal keempat tahun lalu, tahun 2019. Ini link ke posting saya mengenai EPS kalau mau tahu EPS itu apa. 

Menurut laporan keuangannya, BFIN menyelesaikan sengketa selama 16 tahun di kuartal ini, kuartal keempat tahun 2019, dan diharuskan membayar sebesar Rp 774 M. Sebagai gambaran, omzet BFIN di tahun itu, menurut laporan keuangannya, ada di kisaran  Rp 5 trilyun. Jadi pembayaran sengketa ini skitar 15% daripada omzetnya. Lalu labanya bersihnya di tahun itu adalah Rp 712 Milyaran. Artinya, pembayaran sengketanya melampaui laba bersihnya. Singkat kata, pembayaran sengketa sebesar Rp 774 M di tahun 2019 itu nilainya signifikan bagi BFIN. 

Dari keterangan di laporan keuangannya, sepertinya masalah ini cukup besar dan kompleks, melibatkan hal yang terjadi dalam kurun waktu hampir 20 tahun. Jadi bagaimana kronologi dari masalah hukum ini?

Latar Belakang

Sebagai latar belakang, pihak-pihak yang bertikai disini adalah 
  1. BFIN dengan PT Aryaputra Teguharta (APT). 
  2. BFIN dengan  PT Ongko Multicorpora (OM)

PT Aryaputra Teguharta (APT) dan PT Ongko Multicorpora (OM) adalah perusahaan yang dikontrol oleh Ongko Group. Di tahun 1998, anak anak perusahan dari Onko Group lainnya tidak dapat membayar hutang kepada BFIN, yang jumlahnya berkisar 100 juta dollar amerika.

Dari laporan keuangan BFI, ini konon menyebabkan BFI turut gagal membayar hutang kepada krediturnya. Dan juga hampir menyebabkan BFIN pailit.

Sebagai upaya penyelesaian hutang atau restrukturisasi hutang, Ongko Group memasuki perjanjian dengan BFI. Dimana dalam perjanjian tersebut, saham saham BFIN yang dipegang APT dan OM akan digadaikan, sebagai jaminan atas hutang-hutang dari anak-anak perusahaan Ongko Group yang lain.

Di perjanjian tersebut juga katanya, saham-saham BFI yang digadaikan akan dialihkan ke pihak lain, sebagai kompensasi pembebasan hutang anak-anak perusahaan Ongko Group yang lain. Sedangkan hutang BFIN kepada kreditur, akan diselesaikan lewat perjanjian penundaan pembayaran.

Singkat cerita perjanjian nya ditindak lanjuti: 
  1. BFI mendapat surat kuasa dari APT dan OM untuk menjual saham BFIN mereka kepada pihak lain.
  2. Saham BFIN dari APT dan OM dijual ke suatu perusahaan, namanya LDTC. 
  3. Anak-anak perusahaan Ongko Group dibebaskan dari kewajiban hutang. 
  4. Dan permasalahan ini selesai di awal 2001. Sampai disini, sepertinya semuanya lancar, dan hepi  - hepi.
Kronologi Sengketa
Tapi kemudian, di tahun 2003 APT dan OM menagih kembali sahamnya. Di penjabaran di atas kita tahun kalau saham – saham tersebut sudah menjadi milik suatu perusahaan, namanya LDTC.

Di bulan April 2004, Pengadilan Negeri mengabulkan sebagian besar tuntutan APT dan OM. 

Kemudian di bulan September 2004, di tahun yang sama, BFI Finance banding. Lalu Pengadilan Tinggi mengabulkan banding BFI versus APT dan OM.

2005, perkara lanjut ke kasasi. Di tingkat Kasasi MA menolak kasasi APT dan OM.

Kemudian, di tahun 2007 perkara lanjut ke jenjang Peninjauan Kembali atau PK.Keputusan untuk APT dan OM berbeda.
Untuk APT, keputusannya adalah APT adalah pemilik sah atas saham-saham APT. BFI dan Direksi BFI yang menjabat pada saat itu (Francis Lay Sioe Ho, Yan Peter Wangkar dan Cornellius Henry Kho) dihukum untuk: mengembalikan dan menyerahkan saham-saham APT kepada APT, dan - membayar Rp 20 per hari sebagai uang paksa (dwangsom) atas keterlambatan pengembalian dan penyerahan saham APT kepada APT.
Kemudian juga, gugatan APT terhadap pihak lain termasuk LDTC tidak dapat diterima; dan, tuntutan APT berupa ganti kerugian tidak dapat diterima. 

Lanjut ke keputusan PK untuk OM: MA menolak permohonan PK dari OM 
Putusan Pengadilan yang final dan mengikat telah menolak semua Gugatan yang diajukan oleh OM atas dasar pertimbangan hukum bahwa Perjanjian Gadai Saham adalah sah dan berlaku sampai utang anak-anak perusahaan Ongko Grup yang dijamin oleh saham OM telah dilunasi, dengan demikian penjualan saham OM oleh BFI kepada LDTC adalah sah menurut hukum. 

Eksekusi Putusan PK (untuk APT-PT Aryaputra Teguharta)

APT telah beberapa kali berupaya melakukan eksekusi atas putusan PK. Upaya tersebut tidak berhasil karena tidak ada saham-saham terdaftar atas nama APT dalam daftar pemegang saham BFI, oleh karena itu Ketua PN Jakarta Pusat mengeluarkan Surat/ Penetapan "Tidak Dapat Dilaksanakan (Non-Executable)" 

Pada tanggal 26 Februari 2018, APT mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (“Dirjen AHU”). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (“Kemenkumham RI”) untuk menuntut pembatalan dan pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang telah:
  • menyetujui dan mencatat transaksi pengalihan saham APT dari BFI kepada LDT. 
  • menyesuaikan profil perusahaan BFI dengan mencantumkan APT sebagai pemilik atau pemegang dari 32,32% saham di BFI. Permintaan APT tersebut kemudian ditolak oleh Dirjen AHU. 
Dikarenakan adanya penolakan tersebut, pada tanggal 16 Mei 2018, APT mengajukan Gugatan Kemenkumham RI di PTUN Jakarta dengan tuntutan berupa menyatakan tidak sah dan mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Dirjen AHU dan mengajukan Permohonan Penundaan Pelaksanaan (“Schorsing”) atas Obyek Sengketa TUN tersebut di bawah ini (“Obyek Sengketa TUN”):

Terkait Gugatan APT di atas, BFI mengajukan permohonan sebagai Tergugat II Intervensi dalam perkara tersebut ke PTUN Jakarta., dan dikabulkan

Terhadap perkara di atas, PTUN Jakarta mengabulkan Schorsing yang dimohonkan APT atas Obyek Sengketa. PTUN Jakarta juga mengabulkan Gugatan APT terhadap Kemenkumham RI.

Selanjutnya BFI dan  Kemenkumham RI mengajukan banding atas Penetapan tersebut kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta.

PTTUN Jakarta menerima permohonan Banding BFI terhadap Penetapan Schorsing, dimana dengan menyatakan Penetapan Schorsing atas Obyek Sengketa TUN yang dikeluarkan oleh PTUN Jakarta dinyatakan batal dan dicabut serta tidak memiliki kekuatan hukum berlaku. 

Pada tanggal 10 April 2019, APT telah mengajukan upaya hukum Kasasi terhadap Putusan PTTUN Jakarta. Dimana hasilnya menolak Kasasi APT. 

Pada tanggal 20 November 2019, BFI dan Aryaputra Teguharta (APT) menanda-tangani Akta Perdamaian berisi kesepakatan untuk mengakhiri dan menyelesaikan perselisihan yang terjadi secara penuh dan final dengan cara damai atas perkara yang sekarang berlangsung termasuk semua perselisihan yang berkaitan dengan Putusan PK 240. 
Perdamaian tersebut ditindak-lanjuti oleh APT dengan melakukan pencabutan dan/atau mendaftarkan Perjanjian Perdamaian atas semua Perkara yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai putusan sebagai berikut: 

Dalam kesepakatan perdamaian tersebut, BFI setuju untuk memberikan kompensasi kepada APT. Nilai kompensasi tersebut dan biaya terkait penyelesaian ini telah dicatat pada pos Beban Lain-lain. BFI telah membayar penuh biaya-biaya tersebut diatas. 

Selanjutnya, APT telah melakukan proses pembubaran/ melikuidasi perusahaan. Dengan demikian, maka seluruh sengketa hukum yang berlangsung sejak 2001 telah selesai sepenuhnya. 

Okay, sekian ulasan perkara hukum BFI Finance yang mengakibatkan perusahaan ini membayar sebesar Rp 774 M di tahun 2019. Jumlah yang bahkan melampaui laba bersihnya di tahun itu. 

Sekian posting saya kali ini. Akhir kata semoga apa yang saya sampaikan disini bisa bermanfaat. Terima kasih banyak sudah nonton, ikutin terus perjalanan saya untuk belajar investasi, ya. Sampai ketemu di posting selanjutnya.



Comments

Popular posts from this blog

Bedah Portfolio Saham 1

Halo semuanya, jumpa lagi dengan saya Ratih, di Mommy Belluga Investing. Kali ini saya akan melakukan bagi portfolio saya. Tujuannya: Sebagai dokumentasi perjalanan saya berinvestasi Agar, mengumpulkan saran2 dan tips-tips dari master-master investor di kebetulan membaca blog ini. Ini saya jujur2an, saya berharap semoga nanti portfolio ini terus berkembang. Versi video dari blog ini, "Bedah Portfolio Saham 1 (Bonus Perbandingan dengan Reksadana Index)" bisa diakses di YouTube: https://youtu.be/hUN85QmkF3A Portfolio  Jadi, singkat cerita, di atas ini penampakan portfolio saya, sampai dengan 19 November 2020, yaitu saat blog ini disiapkan. Portfolio vs Biaya Saya plot di grafik di bawah: Garis merah dan tebal itu adalah portfolio saya Garis biru adalah biaya yang saya keluarkan. Jadi kalo portfolio saya diatas garis biru, berarti saya masih untung, kalo dibawah, saya rugi. Kalo dilihat di awal-awal saya beli saham, nilai portfolio saya di bawah biaya. Tapi karena saya belinya,

Kupas Saham - Saham ASTRA: ASII, AUTO, ASGR, & AALI

Halo semuanya, kembali lagi bersama saya Ratih di Mommy Belluga Investing.  Hari ini saya bahas beberapa saham di Bursa Efek Indonesia yang ada kata ”Astra” nya. Saham saham itu antara lain: Astra International (ASII),  Astra Otoparts (AUTO),  Astra Graphia (ASGR),  Astra Agro Lestari  (AALI) Dari analisa sederhana saya, saya ketemu: Keempat perusahaan ini tidak pernah merugi, di 10 tahun belakangan.  3 dari empat perusahaan ini, lumayan tahan krisis.  Saat krisis, sepertinya pasar tetap melakukan pembelian kendaraan, akan tetapi menunda servis dan pembelian suku cadang.  ASII sepertinya patut saya pertimbangkan untuk dibeli. Bagaimana saya bisa sampai ke kesimpulan ini, simak analisa saya lebih lanjut. Ohya, jangan lupa subscribe dan like ya, supaya saya lebih bersemangat lagi untuk membuat konten – konten seperti ini.  Subscribe ke channel Telegram saya untuk info blog dan video ter-up to date:  https://t.me/MommyBellugaInvesting Versi video dari blog ini bisa diakses di YouTube mela

Kenapa SRIL Pelit Dividen?

Halo semuanya, jumpa lagi dengan saya Ratih, di Mommy Belluga Investing. Kali ini kita akan membahas, kenapa SRIL pelit dividen? Posting kali ini terinspirasi dari seri video 100 ribu saya sebelumnya, ini link-nya . Di posting itu saya ketemu walau laba SRIL cenderung terus meningkat, tapi dividen-nya segitu2 saja, malah cenderung makin kecil. Di posting kali ini saya telusuri dan plot angka – angka di laporan finansial SRIL dari tahun 2015 sampai dengan 2019 untuk menemukan, kenapa SRIL pelit dividen? Subscribe ke channel Telegram saya untuk info blog dan video ter-up to date:  https://t.me/MommyBellugaInvesting    Versi video dari blog ini bisa diakses di YouTube melalui link ini:  https://youtu.be/jPSryA_8lUw Gambaran Umum SRIL adalah kode saham PT Sri Rejeki Isman Tbk atau lebih populer dikenal sebagai Sritex. Sritex bergerak di adalah perusahaan tekstil dari hulu ke hilir. Lini usahanya mulai dari Pemintalan (Spinning), Penenunan (Weaving), Finishing, dan Garment. Perusahaan ini